Menelisik Kata #KamiTidakTakut

M

Hari ini ada pengeboman di Surabaya. Awalnya aku biasa saja mendapatkan notifkasi kumparan. Maksudnya aku tak langsung respon news itu. Karena posisinya sedang tidak santai alias beres beres rumah.

Namun, tak lama kemudian di televisi baru ramai dan di Instagram pun demikian. Terus terang semenjak aku mengetahui dan mengikuti saran mentor ku untuk tidak terlalu menyimak berita kriminal.

Maka berita yang berkaitan seperti itu terkadang aku abaikan. Bedakan antara mengabaikan berita kriminal dengan mengabaikan perilaku terorrisme. Karena aku sendiri pun benci, tapi tak dipublikasikan.

Aku tak akan mengkritisi siapa pelakunya, siapa di balik semua ini, juga tak mengkritisi dari kejadian ini. Itu bukanlah ranahku. Namun ada hal menarik yang menjadi perhatian ku, yakni hashtag #KamiTidakTakut.

Dari beberapa buku pengembangan diri mau pun NLP (Neuro-Linguistic Programming) menjelaskan kata “tidak”, “jangan” dan “bukan” tidak akan direspon oleh otak. Sehingga otak hanya terfokus pada akhirannya saja. Ya, yakni TAKUT.

Sekarang bisa kita praktikkan “jangan bayangkan Gajah warna ungu”, “saya tidak ingin menjomblo”, “saya bukan seorang pecundang”. Otak akan memfokuskan kata “Bayangkan Gajah warna ungu”, “Saya ingin menjomblo” dan “saya seorang pecundang”.

Kenapa ini bisa terjadi?

Adalah wajar sekali ketika pikiran menterjemahkan dalam bentuk kata (memverbalisasi) dengan bentuk yang tak positif.

Karena menurut Mark Victor Hansen dan Jack Canfield di dalam buku Terapi Berpikir Positif, Dr. Ibrahim Elfiky. Pikiran kita sehari berpikir 60.000 pikiran. 45.000 di antaranya negatif. 15.000 positif.

Adalah masuk akal kenapa kita mengucapkan (verbalisasi) dalam bentuk kalimat negatif. Selain otak yang mengendalikan secara otomatis juga input kita sehari hari sudah terlalu banyak berita negatif.

Kita juga tidak bisa membuat media untuk berhenti menyiarkan berita demikian. Karena semua respon tergantung pada diri kita sendiri. Memilih tidak follow atau tetap menikmati sambil mencaci, mengutuk. Hmm.

Pernyataan #KamiTidakTakut sesungguhnya menyimpan vibrasi negatif. Bila dikaitan dengan penelitian Dr. Masaru Emoto (The Messages in Water) yang meniliti air. Ketika AIR diberikan stimulus kata positif (doa) dengan kata negatif (kemarahan, cacian, dan kebencian).

Terlihat memiliki perbedaan dari bentuknya. Bila air yang diberikan kata kata positif membentuk pola yang indah, bila diberikan kata kata negatif air membentuk abstrak.

sumber: kimisamuel29.blogspot.com

Semakin sering dikatakan #KamiTidakTakut dalam ungkapan melawan terorris. Aku rasa itu malah memperbesar rasa/energi ketakutan dalam diri kita. Padahal emosi alamiah manusia adalah rasa takut itu sendiri.

Masih ingatkah frasa “energi mengalir apa yang difokuskan”? Kalau memfokuskan #KamiTidakTakut apa dampaknya? Mau menunjukkan kalau kita berani melawan terorrisme? Atau hanya bentuk kepedulian kita sebagai netizen (Warga Internet).

Kenapa gak pakai hashtag #KitaBerani dan #KitaLawan seperti salah satu orang yang aku follow di facebook. Seorang HypnoCopywriter, Kang Asep Herna.

Informasi di internet sudah riuh, banyak opini, semua ingin bersuara. Aku lebih memilih diam akan ini. Karena internet sudah dipenuhi dengan informasi itu.

Tidak memposting atau tidak menunjukkan kepeduliaan kita di akun media sosial bukan berarti tidak peduli.

Kembali lagi kepada hashtag #KamiTidakTakut alih alih mengatakan demikian. Walau itu hanya sekedar kata tapi kalau kita fokuskan. Itu menjadikan energi yang besar.

Seperti kata Nikola Tesla “Jika kebencian dapat dikonversikan menjadi energi, Terang-benderanglah dunia ini”.

Oh yah, aku teringat ketika ada seseorang yang berpendapat “Kita juga bisa jadi terorris dari peristiwa terorrisme, yakni menyebarkan gambar korban tanpa sensor”. Saat aku setuju, maka aku berhenti membagikan seperti itu.

Aku senang bila ada yang menanggapi tulisan ini. Namun berkomentarlah dengan cerdas. Karena menggunakan emosi hanya menurunkan kualitas dirimu sendiri. #KalauNgomongPakaiData.[]

Kenal lebih jauh penulis blog ini.

About the author

Dwi Andika Pratama

Founder ImpactfulWriting.com | Professional Impactful Writer | Mentor at CertifiedImpactfulWriter.com

1 comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  • Surprisingly, i read this article and i want to write some oppinion. Yeah, to be honnest artikelmu yg lain enggak menarik minatku untuk menanggapi, i am so sorry hehe

    Teman ini menarik walaupun udah out of the date banget, tapi aku baru baca sekarang :d

    Aku pernah ikut mengamati fenomena tagar ini (di jamannya), dan mengikuti alur kejadiannya.

    Namanya juga jurnalis, bukan menghindari berita kriminal, tapi mencari di mana ada tindak kriminal yg bisa diangkat jadi isu yg seksi.

    kenapa ga pake #kitaberani #kitalawan, karena society emang enggak seberani itu untuk melawan. Men, frasa itu emang yg paling tepat menggambarkan kondisi bangsa kita, lhoo.

    Alih-alih melawan serangan, saling melindungi, kita cenderung bertahan, bahkan bersembunyi terhadap serangan terror.

    dan aku berkesimpulan, #kamitidaktakut adalah bagian dari defense itu sendiri.

    Di dalamnya ada rasa ingin menguatkan satu sama lain, tapi secara personal emang takut. Ingin mengulurkan tangan tapi curiga satu sama lain. Dan hmmm cape euy ngetiknya wqwq

Penulis Blog Ini

Dwi Andika Pratama sapaan akrabnya Kadika. blogger sejak 2012. Menjuarai lebih dari 10x Kompetisi Blog. Penikmat Buku Pengembangan Diri dan Marketing. selengkapnya…

Paling Dicari

Kategori

Part of BloggerHub.id